Tanpa kategori

Are You Pluviophile?


They called us pluviophile—a lover of rain; someone who fines joy and peace of mind during rainy days.
Adalah disebut sebagai pluviophile dalam kamus Inggris, orang-orang yang mencintai datangnya hujan, mereka disebutkan menyukai kebahagiaan dan kedamaian pikiran selama hujan turun. Saya termasuk di dalamnya—saya pluviophile

Ah iya, saya selama ini mencari sebutan ini-sebutan untuk orang-orang yang menyukai hujan. Dan baru-baru ini saya baru menemukannya. Pluviophile disebut juga sebagai syndrome kejiwaan pecinta hujan. Tapi taukah bahwa hujan adalah sebagai media terapi bagi penikmatnya dari segala macam hal, karena dengan turunnya hujan mampu menghadirkan kedamaian tersendiri, termasuk saya. Saya selalu menunggu datangnya hujan, karena dengannya hujan mampu menghadirkan rasa rindu, hujan mampu memberikan inspirasi lebih untuk sebuah tulisan, hujan juga mengingatkan kita pada yang Mencipta, bahwasanya kedatangan hujan bukan untuk dirutuki dan disesali, tapi untuk disyukuri karenanya ada kemarau dan panas maka hujan sebagai penyeimbangnya. Memang susah, terlebih untuk di sebuah kota metropolitan seperti ini. Hujan itu bikin jalan macet, urusan penting tertunda, pakaian-pakaian untuk ke kantor yang seharusnya kering tapi malah basah lagi. Seperti itulah keluhannya.
Saat ini saya menulis ini ketika cuaca diluar sedang lucu-lucunya, its so hot you know hehehe. But noprob for me, karena panas juga salah satu nikmat dariNya. Beberapa hari terakhir ini sampai hari kemarin saya hanya bisa menikmati petrichor–aroma khas tanah selepas hujan. Tapi yang ditunggu gak datang-datang (red:hujan). Gak ada yang bisa ngalahin aromanya. Ini adalah favorit saya sebelum menikmati lantunan gemericik air yang datang dengan keroyokan.
Memperlambat jalan ketika hujan juga sudah menjadi hobbi saya sejak zaman saya masih mengenakan seragam putih-biru. Saya terlalu menikmatinya karena gak mau cepat sampai rumah ketika hujan. Pernah suatu ketika temen saya bilang gini “Ayo cepet jalannyaaa, ini udah mau ujan tau” saya dengan cuek bilang “duluan aja, gue masih mau disini sampai hujan selse”

Hujan itu menyenangkan (banget), sayangnya saya salah satu dari pribumi yang menempati salah satu bangunan kecil dan kumuh diantara gedung-gedung pencakar langit yang tingginya ngalahin bangunan-bangunan masjid yang seharusnya jadi bangunan paling tinggi diantaranya. So, gak bisa nikmatin hujan dengan sikon yang lebih menyenangkan seperti di desa-desa, cuma bisa nikmatin hujan seadanya aja di depan jendela kamar diiringin
Desa? ahiya desa juga menjadi salah satu destinasi favorit saya dengan catatan desa yang masih pure dengan culture nya, bukan desa yang udah terkontaminasi kota metropolitan ini. Gak mau balik ke jakarta rasanya kalau udah disana hihi. Alasannya adalah karena disana saya bisa menikmati langit senja, berada dibawah puncak gunung berbarengan dengan dinginnya udara desa. Bangun lebih awal untuk menunaikan ibadah subuh lalu menunggu sunrise depan rumah yang terbentuk dari anyaman bambu, orang jakarta bilang saung atau gubuk. Beda halnya dengan disini, I’m lazy eeeezzzz. KARENA ketika bangun gak ada hal lain yang menyenangkan selain disibukkan dengan setumpuk kertas kantor, pemandangan bus-bus kota yang antri berderet di sepanjang jalan kota metropolitan. Kado bagi saya adalah ketika mulai tercium petrichor lalu datang yang saya tunggu-tunggu, kemudian kondisi langit jakarta yang menyenangkan pada sore dan malam hari.
Rainy, sky–Its awesome

Tinggalkan komentar